Cara Saya Mencintai BPJS Kesehatan





Beberapa hari lalu, saya kedatangan tamu seorang lelaki setengah baya. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang pensiunan pegawai pertamina.

“Mohon maaf Pak Dokter, saya mengganggu waktunya”, sapa lelaki itu sambal menyalami saya.

“Tidak apa-apa bapak. Silahkan, barangkali ada yang bisa kita sama-sama lakukan untuk kebaikan bersama”, jawabku sambil mempersilahkan duduk.

Kami duduk berhadapan, hanya dibatasi oleh sebuah meja kerja berukuran sedang di ruang kerja saya. Dari raut wajah, kutangkap isyarat persoalan serius yang ingin disampaikan.

“Beberapa hari terakhir ini Pak Dokter, hati saya serasa bagaikan tersayat sembilu”

“Ouwh …. Bagaimana perasaan itu bisa muncul bapak?”

“Kemarin saya bertemu dengan Pegawai BPJS Kesehatan Pak Dokter. Saya bertanya kepada mereka, jalan keluar apa yang bisa kita tempuh, terkait dengan orang miskin yang terlanjur mendaftar BPJS dan tidak pernah kuasa lagi membayar iuran karena memang mereka benar-benar tidak mampu, dan ternyata mereka masih harus terjerat lagi oleh akumulasi hutang atas tunggakan-tunggakan mereka itu?”

“Jawaban apa yang bapak peroleh dari Pegawai BPJS Kesehatan?”

“Jawaban itulah yang membuat hati saya seperti tersayat sembilu Pak Dokter. Mereka mengatakan bahwa semua itu harus tetap dibayar, apapun caranya”

“Ouwh … Bapak tidak bertanya lebih lanjut lagi?”

“Bibir saya seperti terkunci rapat Pak Dokter. Saya membisu beberapa saat. Sambil mengelus dada, saya kemudian mencoba bertanya lagi: bagaimana mereka harus tetap membayar, sementara untuk memiliki sesuap nasi saja mereka harus berjuang berlinang air mata?”

“Terus, apa tanggapan dari BPJS Kesehatan?”

“Mereka mengatakan, yang membayar tidak harus yang bersangkutan. Yang membayar bisa dari seorang donatur, atau bisa dari sumbangan beberapa anggota masyarakat yang peduli, kalau memang yang bersangkutan tidak mampu membayar.... Menurut Pak Dokter, apa yang bisa kita lakukan dengan masalah seperti ini?”

Sampaikan Rintihan Seutuhnya Kepada Presiden

Dalam Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang BPJS, Pasal 7 ayat (1) dan (2), secara jelas dinyatakan bahwa BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Nah, izinkan saya menggarisbawahi kata-kata terakhir itu, “bertanggung jawab langsung kepada Presiden”. Hierarki organisasi BPJS Kesehatan yang “sangat berdekatan” dengan Presiden seperti itu, saya pikir bukan untuk dibangga-banggakan, tetapi yang paling penting adalah kedekatan hierarki itu difungsikan sebagai gerbang komunikasi langsung tanpa penghalang bagi BPJS Kesehatan untuk menyampaikan secara utuh rintihan suara hati rakyat langsung kepada Presiden. Dengan semangat Nawacita Presiden, saya yakin seyakin-yakinnya, ketika rintihan itu disampaikan secara utuh, sangat mungkin akan segera keluar Perpres (Peraturan Presiden) yang menunjukkan kehadiran Negara secara utuh di hadapan rakyat yang sedang terbelit persoalan seperti di atas.

Ketika BPJS Kesehatan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan problematik seperti di atas, sudah bukan waktunya lagi untuk menjawab secara normatif bahwa itu sudah aturan dari pusat. Sudah harus dibuang jauh-jauh jawaban-jawaban normatif yang berlindung di bawah rigiditas pasal-pasal yang sesungguhnya bisa dirubah sesuai dengan urgensi kebutuhan nyata di lapangan. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan, dalam rangka merespon urgensi kebutuhan nyata di lapangan, kita saksikan Perpres tersebut sudah tiga kali mengalami perubahan. Dan, tidak tertutup kemungkinan segera menyusul perubahan ke-4 yang langsung menyasar pada solusi soal-soal kemanusiaan seperti di atas.

BPJS Kesehatan harus ikut membaca dan sekaligus berempati pada persoalan konkrit di lapangan. Masyarakat miskin yang terlanjur mendaftar BPJS Kesehatan sebagai peserta mandiri, harus kita baca sebagai wujud kekurangan BPJS Kesehatan dalam melakukan sosialisasi yang intensif tentang berbagai regulasi kepesertaan BPJS Kesehatan. Fakta di lapangan, masyarakat miskin yang terlanjur mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan mandiri, rata-rata beranggapan bahwa dalam pendaftaran tersebut hanya dibutuhkan sekali bayar iuran untuk masa berlaku seumur hidup. Kemiskinan informasi yang mereka terima, sekali lagi harus kita baca sebagai cermin kemiskinan sosialisasi dari BPJS Kesehatan.

Saya mencintai BPJS Kesehatan, sebagaimana saya mencintai rakyat. Sampaikanlah rintihan suara hati itu seutuhnya kepada Presiden. Kalau perlu, Direktur Utama BPJS Kesehatan bicara empat mata dengan Presiden untuk membahas skenario pemutihan iuran, teristimewa bagi masyarakat miskin yang terlanjur mendaftar BPJS Kesehatan dan sekarang terbelit oleh akumulasi tunggakan iuran yang tak terbayar. Dalam pembicaraan lebih lanjut mengenai skenario pemutihan iuran dimaksud, BPS (Badan Pusat Statistik) dan/atau Kementerian Sosial ikut diajak untuk kepentingan verval (verifikasi & validasi) data kemiskinan peserta, dan selanjutnya setelah pemutihan dilakukan, mereka didaftarkan langsung sebagai peserta PBI JKN (Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional).

Secara konseptual, skenario pemutihan iuran sebagaimana dimaksud di atas, sangat rasional dan bahkan lebih mendekati asas-asas keadilan dan kemanusiaan yang notabene menjadi bagian inheren dari asas penyelenggaraan jaminan sosial sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24/2011 Tentang BPJS. Potensi “defisit” neraca keuangan BPJS Kesehatan dalam skenario pemutihan iuran tidak relevan dikemukakan, karena defisit likuiditas BPJS Kesehatan selama ini selalu terjawab oleh APBN sebagai bagian dari representasi kehadiran Negara. Wallahua’lam. (Baca juga: Membedah Perpres 28/2016 Terkait Jaminan Kesehatan)

0 Response to "Cara Saya Mencintai BPJS Kesehatan"

Posting Komentar