Sumber Masalah Pelayanan Pasien BPJS Kesehatan


Melacak sumber masalah pelayanan pasien BPJS Kesehatan

Assalamu’alaikum Dok. Mohon pandangan Dokter ttg BPJS Kesehatan, dan apa bedanya secara konseptual dgn asuransi kesehatan sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen dll), dan apa yg menjadi kendala sehingga banyak menimbulkan persepsi negatif oleh pengguna. Terima kasih Dok. 

Wa’alaikumsalam wrwb. Pertanyaan di atas akan coba saya jawab sesuai dengan batas-batas kemampuan saya sebagai orang yang tidak termasuk Pegawai BPJS Kesehatan. Tidak jarang memang pertanyaan seputar BPJS Kesehatan ditujukan ke saya meskipun sekali lagi saya bukan Pegawai BPJS Kesehatan. Saya mencoba memaklumi fakta tersebut, bahwa bolehjadi karena saya dianggap sering bicara (atau menulis) tentang BPJS Kesehatan.

Dalam perspektif saya selama ini, BPJS Kesehatan adalah hasil “metamorfosis” dari PT. Askes. Sementara itu, yang pernah kita kenal sebagai PT. Jamsostek telah mengalami "metamorfosis" pula menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Ini yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2) bahwa BPJS terdiri dari dua, yaitu BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.

Mengenai PT. Taspen (Persero) sampai hari ini eksistensinya masih tetap dipertahankan sebagai institusi pemerintah yang secara khusus menyelenggarakan Program Tabungan Hari Tua serta Program Pensiun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara. Sejalan dengan semangat Undang-Undang No. 40 Tahun 2010 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan juga selaras dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN, maka PT.Taspen kemudian mengembangkan desain manfaat yang lebih luas lagi, mencakup Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, serta jaminan sosial lainnya, khusus bagi ASN dan Pejabat Negara. Program jaminan serupa untuk yang di luar ASN dan Pejabat Negara, terakomodir dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Terkait dengan pertanyaan di awal, secara konseptual saya tidak melihat ada perbedaan mendasar antara BPJS Kesehatan dengan (riwayat) PT. Askes. Dalam pemahaman saya, yang terjadi sebenarnya adalah “sekedar” pergantian nama, dari PT. Askes menjadi BPJS Kesehatan dengan tetap mengusung kerangka kerja Asuransi Sosial. Bahwa sekarang kepesertaan BPJS Kesehatan lebih luas dibanding hal yang sama di masa-masa masih bernama PT. Askes, saya melihatnya bukan sebagai perbedaan mendasar, melainkan sekedar konsekuensi logis dari pengembangan kepesertaan yang dilegitimasi oleh undang-undang dalam payung besar penyelenggaraan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Seperti halnya sinyalemen yang berkembang, fakta empiris yang sedang terjadi adalah, sentimen publik terhadap eksistensi BPJS Kesehatan cenderung negatif. Dengan kata lain, citra BPJS Kesehatan sampai artikel ini saya tulis masih berlumuran dengan banyak keluhan, meskipun sejujurnya saya akui ada juga pengalaman-pengalaman positif yang sampai ke telinga saya. Pertanyaannya adalah, mengapa persepsi negatif itu terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya?

Banyak hal yang saya lihat menjadi bagian dari penyebab timbulnya persepsi negatif publik, khususnya pengguna BPJS Kesehatan. Dari banyak hal tersebut, saya ingin menyampaikan satu “sumber” permasalahan yang paling krusial, yakni desain norma tarif pelayanan kesehatan berbasis INA CBG’s (Indonesia Case Base Groups) di Rumah Sakit masih jauh dari prinsip-prinsip muamalah yang sepadan. Saya melihat ada inproporsionalitas dalam skema tarif yang dijalankan BPJS Kesehatan selama ini. Hemat saya, tidaklah sepadan jika tarif INA CBG’s disamakan antara rumah sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik Swasta.

Regionalisasi tarif sudah tepat menurut kacamata pandang saya, tetapi itu masih harus diikuti dengan desain norma tarif INA CBG’s yang berbeda antara RS milik Pemerintah dengan RS milik Swasta. Asas proporsionalitas norma tarif tersebut bisa bercermin pada tingkat FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) yang selama ini BPJS Kesehatan sudah membedakan antara FKTP milik Pemerintah dengan FKTP milik Swasta. Di FKTP milik Pemerintah, norma kapitasi setinggi-tingginya mencapai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) perkapita, dan di FKTP milik Swasta bisa mencapai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) perkapita. Artinya, ada perbedaan positif sebesar 67% pada norma kapitasi di FKTP milik Swasta dibanding dengan FKTP milik Pemerintah.

Dari perspektif di atas saya memandang perlu secepatnya dilakukan perumusan ulang desain norma tarif INA CBG’s, teristimewa pada Rumah Sakit milik Swasta. Di mata saya, akan lebih arif jika nominal realisasi klaim berbasis INA CBG’s diberi tambahan bobot 67% lebih tinggi pada Rumah Sakit milik Swasta. Jika tetap disamakan, maka terpaksa maupun sukarela, pasien-pasien peserta BPJS Kesehatan akan cenderung terakumulasi di Rumah Sakit milik Pemerintah. Di sisi lain, dengan fakta bahwa Rumah Sakit milik Pemerintah masih terbatas jumlahnya, sementara kepesertaan BPJS Kesehatan terus meningkat, maka disitulah sesungguhnya "ruang sumpek" segala potensi konflik pelayanan itu berkecamuk.

Saya pikir para ekonom bisa membantu merumuskan kalkulasi yang lebih reliabel untuk menjawab pertanyaan yang satu ini: pilihan manakah yang lebih efisien, menambah bobot pembayaran klaim INA CBG’s Rumah Sakit Swasta, ataukah mendirikan lebih banyak lagi Rumah Sakit milik Pemerintah lengkap dengan segala kelengkapan sumberdaya operasionalnya?

Sementara ini, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, pilihan yang paling realistis untuk mengatasi problematika pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan, khususnya di tingkat FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut) hemat saya adalah menerapkan desain norma tarif INA CBG’s sebagaimana yang saya kemukakan di atas, bahwa Rumah Sakit Swasta harus dilebihkan di atas baseline tarif INA CBG’s Rumah Sakit milik Pemerintah.

Namun, di atas segalanya, pelayanan promotif preventif di ranah FKTP harus mengalami penguatan yang benar-benar signifikan di segala waktu. Tanpa penguatan promotif preventif di FKTP, maka angka kesakitan (berikut angka kematian) akan terus melonjak. Jika ini dibiarkan, maka rumah sakit sebanyak apapun tidak akan pernah bisa menampung jumlah pasien, kecuali jika setiap jengkal tanah di atas permukaan bumi ini adalah bangunan rumah sakit, yang tidak lain berarti kita telah lebih awal menggali kuburan massal untuk kita semua. Hiiiih ... serreeeem ... Wallahua’lam.

0 Response to "Sumber Masalah Pelayanan Pasien BPJS Kesehatan"

Posting Komentar